Kawasan Lombok dan sekitarnya diguncang dua gempa hebat dalam sepekan. Gempa pertama, yang terjadi pada Minggu 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4 skala Richter, ternyata bukanlah klimaks. Hanya berjarak sepekan, pada Minggu malam 5 Agustus 2018, lindu kembali mengguncang wilayah yang sama dengan kekuatan lebih besar yakni 7 SR.
Ini fenomena yang jarang terjadi dalam bencana gempa, di mana kekuatan gempa kedua lebih besar dari gempa pertama. Yang umum diketahui, gempa susulan selalu punya kekuatan lebih rendah.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemudian menyatakan, gempa berkekuatan 7 SR yang mengguncang Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada pukul 18.46 WIB adalah gempa utama (mainshock). Sementara gempa 6,4 SR adalah awalan atau foreshock.
“Itu agak luar biasa kalau menurut saya. Memang agak mengejutkan, di tempat yang sama, hanya berjarak satu minggu, antara foreshock dan mainshock berdekatan, dan besarnya (gempa utama) itu 10 kali lipat,” ujar mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono di Kantor Redaksi Liputan6.com, Senin (6/8/2018) petang.
Pria yang karib disapa Mbah Rono itu menyebut, gempa pertama Lombok sebagai gempa awalan. Sementara gempa utama adalah yang kedua pada tanggal 5 Agustus yang diikuti dengan sejumlah gempa susulan yang lebih kecil, untuk menyeimbangkan patahan-patahan.
“Kita memang tidak bisa memprediksi berapa kuat gempa awalan serta jumlah gempa susulan. Yang bisa kita lihat, jika jumlah dan energi gempa susulan sudah menurun, dia sudah mengunci energi untuk dikeluarkan pada gempa lain di masa yang akan datang,” jelas mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) itu.
Hal itu dibenarkan Danny Hilman Natawijaya, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia mengatakan, rentetan gempa yang komplit itu ada foreshock, mainshock dan aftershock. Jadi, ada gempa pembuka atau gempa pendahuluan, gempa utama, lalu gempa susulan.
“Tapi, gempa yang pendahuluan atau foreshock itu tidak selalu ada, jadi langsung mainshock atau gempa utama, terus susulan. Nah yang kemarin (gempa Lombok 5 Agustus 2018) ini kasusnya lain dari yang lain. Didahului dengan yang pembuka dulu, baru utamanya atau yang besarnya baru keluar,” jelas Danny
Dengan kata lain, lanjut dia, mainshock itu umumnya terjadi di gempa pertama yang berkekuatan besar. Dan itu bisa diketahui dari gempa yang terjadi pada titik yang sama. Namun, lagi-lagi kita memang tak bisa mengetahui mana gempa awal atau utama sebelum semua energi dilepaskan.
“Jadi, kita tidak akan tahu bahwa itu foreshock sebelum yang gedenya keluar, jadi kita memang enggak bisa tahu,” tegas Danny.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena dua kali gempa di Lombok itu bukan hal yang umum terjadi, kendati bukan berarti tidak pernah.
“Ada gempa pendahuluan dulu kemudian baru ada utamanya. Tapi itu tidak sering, itu lebih banyak terjadi gempa utama kemudian baru ada gempa susulan. Tapi sekali lagi, yang namanya alam itu kita tidak bisa menebak sebelum ada gempa berikutnya, jadi harus menunggu gempa itu terjadi dulu,” jelas Dwikorita
Dia mengatakan, gempa itu memiliki tiga tipe. Yang paling sering terjadi itu tipe di mana gempa utama tinggi kemudian diikuti dengan gempa susulan. Secara alamiah begitu, semakin mengecil semakin melemah.
“Namun ada kondisi-kondisi di alam itu tidak semuanya sama dan seragam. Tipe yang kedua adalah tidak ada gempa utama, tapi diikuti gempa susulan, tapi selang beberapa waktu di lokasi yang sangat berdekatan dan hampir sama di patahan yang sama mengalami penguatan gempa yang kurang lebih sama,” jelas dia.
Dia mencontohkan sesar Flores yang sebelumnya mengalami gempa yang lebih kuat terus diikuti dengan gempa susulan yang semakin melemah. Gempa ini baru bisa disimpulkan setelah keseluruhan gempa melepaskan energinya.
“Jadi itu harus terjadi dulu, baru kita bisa menyimpulkan. Berarti yang kemarin itu (gempa pertama Lombok) masih pendahuluan, karena di lokasi patahan yang sama, kemudian terjadi gempa kuat berikutnya,” jelas Dwikorita.
Gempa tipe ketiga, lanjut dia, adalah gempa yang terjadi di awal dan susulannya punya kekuatan yang sama. “Kekuatan gempa ini biasanya tidak tinggi, skalanya tidak begitu besar,” tegas mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.