Pada abad 21 yang berbasis teknologi ini, tentu saja pemahaman tentang internet menjadi hal yang tidak bisa dinafikkan begitu saja. Tidak hanya menyentuh ranah dewasa, namun anak-anakpun terkena dampak dari dunia online ini. Ada dua hal yang menjadi perhatian publik termasuk di dalamnya Bunda terhadap dampak dari internet ini. Pada satu sisi, internet bagi anak dapat membahayakan. Contohnya jika mereka mengakses konten-konten yang tidak pantas seperti kekerasan dan seksual. Namun, anak yang tanpa akses terhadap internet secara kognitif maupun sosial akan mengalami kerugian (Media Awareness Network, 2008).
Lalu, apakah benar jika anak yang menggunakan internet akan lebih terstimulasi aspek kognitifnya? Sebelum masuk pada bahasan mengenai itu, Bunda perlu mengetahui dahulu bahwa aspek kognitif adalah aspek yang berhubungan dengan kecerdasan otaknya seperti membaca, memahami dan menghafal sesuatu. Aspek ini biasanya sangat diutamakan dalam proses pembelajaran dimana siswa dinilai cerdas jika dia pintar secara kemampuan otak. Dia cerdas jika bisa membaca, menulis, memahami dan menghafal pelajaran yang diajarkan. Lalu, apakah benar jika internet dapat berdampak positif terkait itu?
Berdasarkan data Corporation for Public Broadcasting (2002), pengguna internet berusia 6-8 tahun di Amerika meningkat dua kali lipat dari tahun 2000-2002 dari 27% sampai 60%. Hampir 20% dari anak-anak Kanada berusia 9 tahun mengakses internet melalui PC (personal computer) mereka sendiri (Media Awareness Network, 2006). Dilaporkan bahwa di Inggris 7% anak berusia 10 tahun telah memiliki webcam (The Office of Communication (2007). Di Australia, 9 dari 10 keluarga mempunyai koneksi internet di rumahnya dan 75% nya memiliki akses broadband (Australian Communications and Media Authority, 2007).
Tren ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak-anak yang menggunakan internet, banyaknya waktu mereka untuk melakukan aktivitas online dan kompleksnya aktivitas online (Livingstone & Helpsper, 2007).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fish and colleagues (2008), mereka menginvestigasi korelasi antara pengalaman menggunakan komputer di rumah bagi anak usia 3-5 tahun dengan perkembangan kognitifnya. Penelitian itu menggunakan data 2000 anak. Sumber data didapat dari orangtua anak yang berkaitan dengan kegiatan anak dengan komputer dalam lingkungan rumah, termasuk berapa lama dan program apa yang dia gunakan. 2000 anak tadi kemudian secara standar dites aspek kognitifnya. Hasilnya, anak-anak yang di rumahnya terdapat akses internet punya hasil yang secara signifikan lebih tinggi daripada yang tidak.
“Internet meskipun kaya akan grafik display, namun utamanya adalah berdasarkan teks, sehingga semakin anak menggunakan internet, maka semakin banyak yang dia baca” (Jackson et al., 2007, p. 188). Lebih lanjut, anak yang menggunakan internet di rumahnya dan secara kontinyu melakukan aktivitas online mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam tes pencapaian membacanya.
Internet yang mengandung banyak tulisan, warna, bentuk, ikon, grafik, tabel dan sebainya memang secara penelitian telah terbukti meningkatkan aspek kognitif anak termasuk di dalamnya kemampuan dalam hal membaca. Meskipun begitu, penggunaan internet pada anak usia dini sangat memerlukan pengawasan dari Bunda dan Ayah sebagai orangtua. Pengaturan waktu yakni berapa lama dia bisa menggunakan internet ataupun komputer perlu untuk didisiplinkan agar dia tetap bisa bersosialisasi dengan lingkungan nyata disekitarnya. Sebagai contoh, pada tahun 2013 Departemen Kesehatan Amerika merekomendasikan anak di atas 2 tahun hanya boleh maksimal 2 jam berada di depan layar. Pengenalan teknologi bagi anak memang penting di satu sisi, namun pengawasan menjadi hal yang lebih penting Bunda. Pengawasan adalah bentuk Cinta Bunda pada buah hati, termasuk dalam hal internet ini.
Nah itu dia bunda, semakin tumbuh kembang anak berkembang dari waktu ke waktu, semakin mengetahui si buah hati mengetahui dunia internet.